Dokter bukan dewa. Bisa juga salah. Pasien juga belum tentu selalu benar. Begitu halnya dalam mendiagnosis. Tidak selalu mulus dan tepat, tergantung sejumlah hal. Kapan pasien datang, bagaimana komunikasi dokter dengan pasien, dan tentu seberapa penuh kompetensi dokter sendiri. Jadi kalau diagnosis sampai meleset, apa saja sebabnya?
Pak Kar kapok berobat ke dokter tetangganya. Perkaranya, bulan lalu anaknya yang terserang DBD (demam berdarah dengue) luput didiagnosis, lalu kehilangan nyawa. Bu Sus juga begitu. la tidak mau lagi berkonsultasi kepada dokter yang biasa dikunjunginya, lantaran tifus yang dideritanya sudah telanjur komplikasi. Padahal, dokter itu ahli penyakit dalam, sudah profesor pula.
Belum tentu salah dokter
Benar, belum tentu salah dokter, mungkin salah keadaan. Artinya, ketika pasien datang berobat, belum seluruh gejala dan tanda penyakitnya muncul. Ibarat harus menetapkan jenis pohon mangga dari hanya melihat daunnya. Begitu kondisi dokter kalau gejala dan tanda penyakit masih amat minimal.
Bahwa demam bukan hanya milik tifus atau DBD. Ada puluhan penyakit yang disertai demam. Kalau demam berarti daun dari sebuah pohon, tidak mudah dokter menetapkan apa jenis pohonnya. Dalam kondisi demikian, bisa saja diagnosis dokter tidak tepat. Apalagi kalau dokter juga belum menemukan adanya tanda penyakit yang mendukung, saat melakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Pada penyakit tifus, selain demam, juga dijumpai tanda hati dan limpa teraba membesar.
Semakin dini pasien bertemu dokter, semakin besar kemungkinan diagnosisnya meleset. Kondisi demikian yang menyulitkan dokter, siapa pun dia, betapa pun hebat dan pintarnya dokter, kalau yang tampak maupun hasil pemeriksaan masih minimal. Luput mendiagnosis bisa juga terjadi bila komunikasi dokter dengan pasien kurang lancar. Mungkin soal berbahasa, kalau bukan kemampuan pasien menjabarkan dan mengekspresikan keluhannya tidak bulat benar.
Mengapa hal itu begitu penting? Karena sebagian besar diagnosis sebetulnya bisa ditegakkan dari wawancara atau anamnesis dokter dengan pasien. Kegagalan anamnesis umumnya lebih karena kurang terampilnya dokter membangun kesimpulan dari hasil wawancara dengan pasiennya.
Namun, sekali lagi, betapa bulatnya pun hasil anamnesis, jika data penyakit yang dokter terima masih sedikit, tetap saja tak mungkin mendiagnosis. Bukan kejadian jarang, setelah anamnesis dan memeriksa pasien, dokter tetap belum menemukan apa diagnosisnya.
Penyakit senantiasa berproses
Apa pun jenis penyakitnya, selalu menempuh suatu proses. Masing-masing penyakit melewati prosesnya sendiri-sendiri. Itu yang kita sebut riwayat penyakit.
Dalam anamnesis, dokter mengarahkan pasien untuk mengungkapkan keluhan yang bersesuaian dengan riwayat suatu penyakit yang sedang dokter pikirkan. Makin bagus dokter memformulasikan keluhan pasien terarah kepada suatu penyakit, akan makin besar kemungkinan dokter tersebut berhasil tepat dalam mendiagnosis.
Yang terjadi pada kasus Pak Kar dan Bu Sus adalah karena gejala dan keluhan penyakit yang ditangkap dokter dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum seluruh riwayat penyakitnya muncul. Jangankan mendiagnosis, menduga saja pun dokter belum mampu.
Setiap dokter yang kompeten sudah barang tentu menguasai formulasi setiap penyakit. Dalam buku teks, gejala dan tanda tifus itu demam lebih seminggu, demam muncul di sore hari, tidak enak perut, mungkin sembelit, bibir kering, dan lidah bersalut putih dengan pinggir berwarna merah.
Persoalannya, tidak semua pasien tifus selalu datang ke dokter pada saat gambaran penyakitnya sudah lengkap dan sama persis dengan yang ada di buku karena setiap penyakit senantiasa berproses.
Sumber :Tabloid Gaya Hidup Sehat, KOMPAS (Editor:Ana)
0 comments:
Posting Komentar