rss
twitter
    Find out what I'm doing,...

CASE CONFERENCE REGIONAL ANESTHESIA SOLO



WORKSHOP: 19 -20 SEPTEMBER 2012, RS MOERARDI SOLO
CASE CONFERENCE: 21-22 SEPTEMBER 2012, HOTEL TELAGA MAS SARANGAN.
REGISTRATION FEE:
CASE CONFERENCE
SPECIALIST:  Rp. 2.000.000 RESIDENT: Rp. 1.000.000 OTHERS: 1.500.000
WORKSHOP
SPECIALIST:  Rp. 2.500.000
Contac Person. 
Dr. OSI_081-2131-414-15 
RETNO MARUTI_085-2251-022-25 
KURNIAWAN_085-6422-625-58 
NAILY_085-6475-886-82









Read the rest of this entry...

MODUL ANESTESI SPINAL DAN BIER'S BLOK

DARTAR  ISI
1.      Lembar Pengesahan.............................................................................................      i
2.      Daftar Isi...............................................................................................................      ii
3.      Pendahuluan..........................................................................................................     1
4.      Sejarah...................................................................................................................     4
5.      Anestesi lokal.........................................................................................................     7
6.      Mekanisme kerja...................................................................................................     7
7.      Teori anestesi lokal terhadap membran saraf........................................................   7
8.      Farmakologi .........................................................................................................      7
9.      Alkalinisasi larutan anestesi lokal........................................................................      9
10.  Toksisits larutan anestesi lokal.............................................................................      11
11.  Obat – obat anestesi Lokal....................................................................................     14
12.  Anatomi.................................................................................................................     15
13.  Persiapan Anestesi.................................................................................................     18
14.  Spinal Anestesi......................................................................................................      19
15.  Indikasi Anestesi Spinal........................................................................................       19
16.  Kontraindikasi absolut...........................................................................................     20
17.  Kontraindikasi relatif.............................................................................................     21
18.  Prosedur Tindakan Anestesia Spinal.....................................................................      21
19.  Posisi......................................................................................................................     24
20.  Jarum Spinal..........................................................................................................     26
21.  Teknik insersi........................................................................................................      27
22.  Pengaturan level analgesia....................................................................................    29
23.  Faktor – faktor yang mempengaruhi ketinggian blok...........................................     30
24.  Faktor – faktor yang mungkin tidak mempengaruhi ketinggian blok...................     31
25.  Perawatan selama pembedahan.............................................................................   32
26.  Perawatan pasca bedah..........................................................................................   32
27.  Komplikasi/masalah anestesi spinal......................................................................     32
28.  Anestesi regional intravena...................................................................................     38
29.  Daftar Pustaka.......................................................................................................     41

ji      jika membutuhkan bahan tersebut silakan hubungi saya, file akan saya kirim ke email anda .......berbagi itu indah kan???

Read the rest of this entry...

DOPAMIN; DOBUTAMIN;MORPHIN SYRINGE PUMP

prinsipnya bahwa kecepatan = dosis / pengenceran misalnya, 

Dobutamin dosisnya kan 5 - 10 mcg/kgbb/menit kita mau pake spuit 50 cc syring pump kita hitung dosisnya, misal kita mau pake yang 5 mcg/kgbb/menit, jadinya kan ... misal BB= 50 kg deh dosis---> 5 x 50 = 250 mcg/ menit ---> 250 x 60= 15000 mcg/jam ( dijadiin jam dunk, kan syringe pump settingannya pake ml/jam ) pengenceran--> dobutamin tuh 1 ampulnya 250 mg/ 5 cc, mo kita pake spuit 50 cc so 250 mg/50 cc--> sama dengan 5 mg/cc = 5000mcg/cc dijadiin mcg biar sinkron ama dosisnya yah) jadinya kecepatan syringe pumpnya = 15000/5000 = 3 cc/jam sekarang Dopamin dosisnya: 10 mcg/ kgbb/menit sediaan : 200 mg/10cc misal, BB= 50 kg dosis = 10 x 50 x 60 mcg/jam = 30.000 mcg/jam pengenceran = 200 mg/50 cc = 4 mg/cc = 4000 mcg/ cc kecepatannya = 30.000/4000 = 7.5 cc / jam Morphine dosis = 10 -20 mcg/kgbb/ jam sediaan = 10 mg/cc misal, BB=50 kg dosisnya , = 10 x 50 = 500 mcg/jam pengenceran = 10 mg / 50 cc = 0.2 mg/cc = 200 mcg/cc kecepatan = 500/200 = 2.5 cc/jam gampang kan? sekali laghi speed sama dengan dosis dibagi pengenceran, yang harus diingat tentunya satuannya mesti sama ya, semoga membantu...c u
Read the rest of this entry...

SEJARAH ANESTESI SPINAL

Penggunaan kokain pertama kali dilakukan oleh Carl Koller, ophthalmologist dari Wina sebagai kokain topikal untuk analgesia mata pada tahun 1884. Pada tahun 1885 , Gaedickle berhasi mendapatkan kokain dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbukan koka (Erythro seylon coca) yang banyak tumbuh di Pegunungan Andes. William Halsted dan Richard Hall, ahli bedah di Roosevelt Hospital di New York City, selangkah lebih maju dengan ide menyuntikkan anestesi lokal kokain ke jaringan manusia dan saraf untuk menghasilkan anestesi untuk operasi. James Leonard Corning, seorang ahli saraf di New York City, menggambarkan penggunaan kokain untuk anestesi spinal pada 1885. Corning pertama menyuntikkan kokain intratekal kepada seekor anjing dan dalam beberapa menit anjing telah mengalami kelemahan di bagian belakangnya. Berikutnya, Corning menyuntikkan kokain ke manusia di interspace T11-T12 ke dalam ruangan yang dia pikir adalah ruang subarachnoid. Karena Corning tidak melihat efek apapun setelah 8 menit, dia mengulangi injeksi. Sepuluh menit setelah injeksi kedua, pasien mengeluhkan lemah di kakinya, namun mampu berdiri dan berjalan. Pungsi dural dijelaskan oleh Paul Wynter pada tahun 1891 diikuti segera oleh Heinrich Quincke 6 bulan kemudian. Augustus Karl Gustav Bier, seorang ahli bedah Jerman, menggunakan 3 ml kokain 0.5% intrathecal pada enam pasien untuk pembedahan ekstremitas bawah pada tahun 1898, dan pada tahun 1908 dia memperkenalkan anestesi regional inatravena ( Bier’s Blok). Dengan metode ilmiah yang benar, Bier memutuskan untuk percobaan pada dirinya sendiri dan meneliti Post Dural Puncture Headache (PDPH). Asistennya, Dr Otto Hildebrandt, meneliti efek injeksi kokain intratekal dan kejadian PDPH tersebut. Setelah injeksi kokain intratekal ke Hildebrandt, Bier melakukan percobaan pada bagian bawah tubuh Hildebrandt dengan memberi tusukan jarum dan membakar cerutu ke kaki, incisi di paha, avulsi rambut kemaluan, pukulan kuat dengan palu besi ke tibia, dan torsi testis. Hildebrandt melaporkan rasa sakit minimal atau tanpa rasa sakit selama percobaan, namun ia mengalami mual, muntah. Bier mengaitkan PDPH dengan hilangnya LCS dan merasakan penggunaan jarum kecil akan membantu mencegah sakit kepala. Dudley Tait dan Guido Caglieri melakukan anestesi spinal pertama di San Francisco, Amerika Serikat pada 1899. Mereka melakukan penelitian menggunakan cadaver, binatang, dan pasien hidup untuk menentukan manfaat dari pungsi lumbal, terutama dalam pengobatan sifilis. Tait dan Caglieri menyuntikkan garam merkuri dan iodida ke dalam LCS. Rudolph Matas, seorang ahli bedah vaskuler di New Orleans, menjelaskan penggunaan kokain intratekal dan pertama kali menggunakan morfin dalam ruang subarachnoid. Matas juga menggambarkan komplikasi kematian setelah pungsi lumbal. Theodore Tuffier, seorang ahli bedah Prancis di Paris, meneliti anestesi spinal dan melaporkan penelitiannya pada tahun 1900. Tuffier menyatakan bahwa kokain tidak harus disuntikkan sampai cairan cerebrospinal. Tuffier mendemonstrasikan anestesi spinal di Paris dan mempopulerkan anestesi spinal di Eropa. Arthur Barker, seorang profesor bedah di University of London, melaporkan kemajuan teknik anestesi spinal pada tahun 1907, termasuk penggunaan anestesi lokal hiperbarik, kemajuan sterilitas, dan kemudahan teknik median daripada paramedian. Kemajuan sterilitas dan penyelidikan mengenai penurunan tekanan darah setelah injeksi anestesi spinal membuat anestesi spinal lebih aman dan lebih populer. Gaston Labat adalah pendukung kuat dari anestesi spinal di Amerika Serikat dan melakukan studi awal tentang efek posisi Trendelenburg terhadap tekanan darah setelah anestesi spinal. George Pitkin berusaha untuk menggunakan anestesi lokal hypobaric untuk mengontrol ketinggian level anestesi spinal dengan mencampur prokain dengan alkohol. Lincoln Sise, ahli anestesi di Klinik Lahey di Boston,. menggunakan teknik Barker dengan agen anestesi lokal hiperbarik baik dengan prokain maupun tetrakain. Anestesi spinal menjadi semakin populer dengan perkembangan baru yang terjadi, termasuk pengenalan anestesi Sadel Block oleh Adriani dari Romawi pada tahun 1946. Puncak popularitas anestesi spinal di Amerika Serikat terjadi di tahun 1940, namun kekhawatiran mengenai defisit neurologis dan komplikasi yang disebabkan menyebabkan dokter anestesi untuk menghentikan penggunaan anestesi spinal. Perkembangan agen anestesi intravena dan agen blok neuromuskuler bertepatan dengan penurunan penggunaan anestesi spinal. Pada 1954 Dripps dan Vandam menerangkan keamanan anestesi spinal pada lebih dari 10.000 pasien, disinilah mulainya kebangkitan spinal anestesi. Perkembangan awal jarum spinal merupakan awal pengembangan anestesi spinal. Corning menggunakan jarum emas yang memiliki titik bevel pendek, kanula yang fleksibel, sekrup set yang terfiksasi dan introducer bagi jarumnya. Quincke menggunakan jarum miring yang tajam dan berongga. Bier mengembangkan jarum yang tajam yang tidak memerlukan sebuah introducer. Jarum tersebut memiliki diameter yang lebih besar (15-gauge atau 17-gauge) dengan bevel yang panjang. Masalah utama dengan jarum Bier adalah rasa sakit pada insersi dan hilangnya anestesi lokal karena lubang besar di dura setelah pungsi dural. Jarum Barker tidak memiliki kanula di dalamnya, terbuat dari nikel, dan memiliki bevel tajam dengan stilet yang sesuai. Labat mengembangkan jarum nikel yang tajam, dengan bevel yang pendek. Labat percaya bahwa bevel pendek meminimalkan kerusakan pada jaringan ketika jarum dimasukkan. Herbert Greene menyadari bahwa kehilangan dari CSF merupakan masalah utama dalam anestesi spinal dan mengembangkan jarum ujung halus, jarum ukuran kecil yang mengakibatkan insiden PDPH lebih rendah. Barnett Greene menjelaskan bahwa penggunaan jarum 26-gauge dalam kebidanan akan menurunkan kejadian PDPH. Jarum Greene sangat populer sampai diperkenalkannya jarum Whitacre. Hart dan Whitacre menggunakan jarum pencil-point untuk mengurangi PDPH dari 5-10% sampai 2%. Sprotte memodifikasi jarum Whitacre dan mempublikasikan penelitiannya lebih dari 34.000 anestesi spinal pada tahun 1987. Modifikasi dari jarum Sprotte pada tahun 1990-an itulah yang sampai saat ini digunakan untuk anestesi spinal.  
Read the rest of this entry...

LVH / HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI


Jantung mengalami hipertrofi dalam usaha kompensasi akibat beban tekanan ( pressure over load) atau beban volume (volume overload ) yang mengakibatkan peningkatan tegangan dinding otot jantung. Pada awal LVH terjadi gangguan fungsi diastolic ventrikel kiri yang ditandai dengan penurunan kecepatan pengisian ventrikel kiri karena kekakuan otot ventrikel. Menurut studi Framingham, LVH merupakan factor resiko independent terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler melalui proses : infark miokard, payah jantung kongestif, aritmia dan kematian jantung mendadak. . Penelitian Framingham ini juga menunjukan bahwa terjadinya LVH pada hipertensi bersifat parallel dengan peningkatan tekanan darah. Ekokardiografi merupakan baku emas ( gold standard) dalam emnentukan diagnosa LVH, dengan alat ini dapat mendeteksi LVH decara dini, dapat menilai kelainan anatomic dan fungsional jantung pada hipertensi Definisi hipertensi. Menurut WHO-ISH pada tahun 1999 hipertensi adalah tekanan darah sistolik = 140 mmHg dan tekanan darah diastolic = 90 mmHg pada orang yang tidak memakai obat-obat anti hipertensi PATOFISIOLOGI LVH PADA HIPERTENSI : Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan mengalami kompensasi melalui proses : mekanisme kompensasi Frank Starling, meningkatkan massa otot jantung dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik system simpatis ataupun melalui hormone rennin angiostensin. Perubahan otot jantung pada LVH : Pada awal hipertropi belum tampak dengan pemeriksaan radiology, tetapi pada EKG sudah terlihat peningkatan voltase pada setiap sandapan. Berat otot jantung padda awalnya relatif tidak bertambah ( normal 0,6 – 0,65% dari berat badan) atau ± 350 – 375 g pada wanita dan 375 – 400 g pada pria. (27,34,35) Hipertropi yang telah melewati massa kritis (berat otot jantung > 500g) ditandai dengan penebalan dinding ventrikel ( lebih dari 1,2 cm). Peningkatan massa otot ini lebih banyak berupa hipertropi disbanding hyperplasia sehingga mengurangi kapasitas aliran koroner karena kurangnya densitas pembuluh koroner. Secara mikroskopis diameter serat miokard menebal > 20 mm (normal 5 – 12 mm) karena peningkatan sarcoplasma dan myofibril. Sering terdapat perobahan degeneratif seperti vacoulisasi dari serat fibril. Secara ultrastruktur terlihat peningkatan jumlah mitokondria, akumulasi glikogen, peningkatan apparatus golgi dan jumlah myofibril. Komplikasi Hipertropi ventrikel kiri Aritmia. Hipertensi dengan LVH akan meningkatkan resiko atrial atau ventrikel aritmia. Hal ini terjadi karena inhomogenitas dari otot jantung dalam menghantarkan impuls atau aliran listrik otot jantung dimana fibrosis atau infiltrasi serat kolagen akan mempengaruhi pengaturan kontraksi otot jantung. Proses reentry yang mendasari proses aritmia menyebabkan kenaikan mortalitas dan menimbulkan 40 – 50 X kejadian ventrikel extra sistol pada hipertensi dengan LVH disbanding dengan tanpa LVH. Infark Miokard. Konsekuensi dari peningkatan tekanan dinding pada LVH menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen sementara cadangan aliran koroner terbatas atau tidak dapat mengimbangi kebutuhan tersebut, sehingga dengan sedikit peningkatan beban kerja otot jantung akan kekurangan oksigen (iskemik) atau nekrosis (infark miokard). Dengan demikian otot jantung sangat rentan dengan iskemik, walaupun dengan angiografi masih terdapat gambaran arteri koroner yang normal. Penambahan massa miokard membutuhkan pertambahan perfusi jaringan dan pertambahan jumlah pembuluh darah koroner untuk bisa berkontraksi dengan baik. Cadangan aliran darah koroner yang tidak mencukupi tergambar dari penurunan kepadatan pembuluh arteri koroner persatuan miokard, peningkatan rasio antara dinding dengan lumen arteri, penurunan kapasitas vasodilatasi koroner dan peningkatan tahanana mikrovaskuler koroner. Payah Jantung Apakah hipertensi dengan LVH menyebabkan payah jantung karena perobahan struktur, abnormalitas biokimia, perobahan mekanisme regulator atau iskemik belum jelas. Hipertensi paa awalnya menimbulkan gangguan fungsi diastolic dan peningkatan tekanan arterial yang persisten, kemudian diikuti oleh gangguan sistolik. Penurunan kekuatan kontraksi pada jantung LVH dapat disebabkan peregangan yang tidak serentak atau tidak homogen dari dinding ventrikel. Diagnosa Hipertropi ventrikel kiri ( LVH) : setiap penderita hipertensi sebaiknya tiap tahun terutama utnuk mendeteksi LVH karena kalau sudah terdapat LVH berarti pederita sudah mengalami perjalanan hipertensi yang lama baik ringan ataupun berat. Hal ini penting diketahui karena dengan hipertensi ringan pun masih terdapat kemungkinan munculnya LVH. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya LVH selain dari hipertensi adalah peningkatan volume pre load, obesitas, arteriosclerosis koroner, diet tinggi garam, alkoholisme, resistensi insulin, peningkatan kadar angiostensin II serta norepinefrin dan faktor yang tidak dapat dikoreksi seperti kelamin laki-laki, usia lanjut dan kulit hitam, sehingga faktor ini perlu lebih diwaspadai. dengan endokardiografi beberapa penelitian melaporkan bahwa 40 – 50% hipertensi ringan mempunyai massa ventrikel kiri diatas batas normal. Prevalensi LVH pada hipertensi dengan pemeriksaan EKG hanya ditemukan 15-20% sedangkan dengan pemeriksaan ekokardiografi didapatkan 60% LVH Dalam tahun terakhir ini usaha untuk mendeteksi LVH lebih pro aktif dilaksanakan, mengingat besarnya resiko LVH terhadap gagal jantung. Barubaru ini dikemukakan bahwa dispersi QT (perbedaan terbesar dari interval QT pada setiap sandapan) sebagai parameter tambahan untuk meningkatkan sensitifitas EKG dalam mendeteksi LVH, dimana dengan peningkatan dispersi QT ini dapat membantu criteria voltase yang sudah ada. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya angka kematian karena gagal jantung akibat hipertensi,s ebab angka kematian yang disebabkan stroke sudah menurun dari 60% menjadi 53%. Dengan memanfaatkan pengukuran dispersi QT pada EKG dapat membantu untuk meningkatkan sensitifitas terhadap adanya LVH pada penderita hipertensi, sebelum didapatkan pemeriksaan ekokardiografi. Karena ketersediaan alat pemeriksaan ekokardiografi sangat terbatas dan memerlukan biaya mahal sehingga menjadi masalah daerah seperti di Indonesia.




Belajar Membuat Website dengan Adobe Dreamweaver
Read the rest of this entry...

SKOR CHILD PUGH

Measurement

Point 1

Point 2

Point 3

Total bilirubin, μmol/l (mg/dl)

<34 (<2)

34-50 (2-3)

>50 (>3)

Serum albumin, g/l

>35

28-35

<28

INR

<1.7

1.71-2.20

> 2.20

Ascites

None

Mild

Severe

Hepatic encephalopathy

None

Grade I-II (or suppressed with medication)

Grade III-IV (or refractory)


Points

Class

One year survival

Two year survival

5-6

A

100%

85%

7-9

B

81%

57%

10-15

C

45%

35%

Read the rest of this entry...

PETIDIN/MEPERIDIN

FROM REDING KECIL, CREATED BY dr. PARAMITA PUTRI HAPSARI
Click HERE to view the author, click on picture to enlarge it. hopefully useful..

















Read the rest of this entry...

METADON


Metadon adalah opiat sintetis yang kuat seperti heroin (putaw) atau morfin, yang bekerja long acting
Methadone adalah agonis μ-opioid penuh. 
Bentuk Sediaan

Liquid : dispensing dengan pompa otomatis sehingga dosis kecil dapat terukur dgn baik. Setiap 1 ml mengandung 10 mg methadone HCl

Farmakodinamik
Mempunyai cara kerja yang serupa dengan morfin
Metadon juga mengikat ke reseptor glutamatergic  (N-metil-D-aspartate) NMDA, dan dengan demikian bertindak sebagai reseptor  antagonis  terhadap  glutamat

farmakokinetik
Absorbsi dan Distribusi
Oral bioaviability 80 – 90% Diabsorbsi secara perlahan setelah 30 – 60 menit pemberian dan mencapai efek puncak 2-4 jam
Melewati barier placenta

Metabolisme dan Ekskresi
metabolisme di liver Enzyme P-450 dalam bentuk metabolit yang tidak aktif
metabolisme  lambat  dan kelarutan lemak yang sangat tinggi, sehingga lebih tahan lama dibandingkan obat berbasis morfin lain. 
waktu paruh eliminasi  15 sampai 60 jam dengan rata-rata sekitar 24 jam
 di eksresi melalui urin

DOSIS Tidak ada dosis absolut Umumnya antara 60-120 mg
Response klinik sangat individual Indonesia  15-30 mg (dosis awal) dinaikkan 5-10 mg/hari dinilai dalam 3 hari
EFEK SAMPING METADON
Serigkali terjadi berkeringat dan sulit b.a.b Gangguan fungsi seksual Berkurangnya cairan saliva Gangguan pola tidur
INTERAKSI OBAT DENGAN METADON
Obat yang dapat meningkatkan kadar methadon dalam plasma : SSRI (khususnya Fluvoxamine) Ketaconazole Menurunkan kadar plasma metadon (akibat menurunkan aktivitas Liver Enzyme P-450) : - Antikonvulsan (Fenitoin, karbamazepin) - Rifampisin ARV : Nevirapine, efavirens Efek potensiasi dengan metadon : Benzodiazepin, alkohol, dan depresan SSP lain Antidepresan Trisiklik
KONTRA INDIKASI METADON
Semua golongan opioid kontra indikasi untuk : Akut abdomen, trauma kepala, kerusakan paru-paru berat -> tunda inisiasi metadon Gangguan hati yang berat (jaundice, ascites), hepato encephalopathi  turunkan dosis bila memulai terapi metadon Akut asma, akut alkoholisme, ulcerative colon (toxic megacolon), spasme saluran empedu dan kencing, MAOIs -> tunda inisiasi metadon
Terima kasih



Read the rest of this entry...