rss
twitter
    Find out what I'm doing,...

Apakah Anestesi Spinal Sebaiknya Dilakukan pada Pasien dengan Multipel Sklerosis?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwCk-purQzSEp0txHv_1j65wNg0uG1LmLMkn0QCX6dkVqB7DTzn340WH7yEoSkqUa1PnFbCnjQ2K3hc6oWvT1_uU1uOYp6iwuOknE5yZNwkBYAUiOLpprosYZAnlII6nFd8f890c6CKac/s320/spinal+2.jpg
Robert Stevens,MD dan Marek Mirski,MD, PhD

Multipel sklerosis adalah penyebab terbanyak dari disabilitas neurologik
pada orang dewasa di Amerika Serikat, mengenai sekitar 250.000 sampai 350.000 orang.1 Penyakit ini terjadi pada pasien tertentu yang memiliki predisposisi genetik yang tereskspos dengan faktor-faktor lingkungan yang belum diketahui dan ditandai secara patologis dengan disregulasi imun dan respon inflamasi dengan destruksi myelin sheats, trauma aksonal dan mekanisme perbaikan abnormal.2 Gambaran kliniknya adalah protean, mencerminkan heterogenitas pada lokasi dan perkembangan sementara dari plak atau area fokal dari demielinisasi, yang bersifat patognomonik dari penyakit ini.3 Perjalanan kliniknya tidak bisa diprediksi, tapi pola sementara dari ”relapsing remitting” berhenti mengalami remisi dan mengalami penyakit ”progresif sekunder”.3,4 Diagnosis didasarkan pada bukti obyektif (penemuan klinik spesifik atau MRI), atau dua atau lebih lesi yang berpisah dan jelas secara antomis. Data konfirmasi diagnosis bisa diperoleh dengan elektroforesis dari protein serebrospinal, yang menunjukkan immunoglobulin spesifitas sempit pada lebih dari 90% pasien dan oleh latensi yang tertunda dari potensial yang dipicu oleh visual, auditoris, dan somatosensoris.4 Manajemen lintas disiplin membutuhkan ahli dari neurologis, perawat spesialis, terapi fisis, dan kelompok-kelompok pendukung. Operasi bersifat paliatif jika terapi farmakologi dan terapi pendukung gagal dan pasien yang akan dioperasi dengan MS khususnya menunjukkan gejala yang semakin buruk. Komplikasi dari manajemen operasi termasuk spastisitas otot skeletal, neuralgia trigeminal, disfungsi kandung kemih dan tremor.

PILIHAN
Apakah bedah, anestesi atau kejadian perioperatif lain mempengaruhi ekspresi klinis dan patologi dari MS? Membuat hubungan antara ekspos spesifik dan aktivitas MS bukanlah tugas yang mudah, memberikan riwayat dari penyakit dimana serangan dan remisi yang sering nampak, bebas dari hal-hal yang mempresipitasi.4 Relaps perlu dibedakan dengan pseudoeksaserbasi sementara seperti pemburukan gejala yang ditandai dengan kenaikan suhu tubuh.6 Sesuai konsensus, relaps sejati harus berlangsung lebih dari 24 jam.

FAKTA
Peningkatan insiden dari relaps klinik telah ditemukan pada periode puerperal, padahal resiko ini berkurang selama gestasi.7,8 Survei epidemiologi mengaitkan MS dengan infeksi, 9,10 dan trauma meskipun hubungannya lemah.4,12 Bedah dan anestesi dianggap sebagai faktor presipitasi. Bedah dikaitkan dengan respon endokrin neural inflamasi yang dapat dipahami setelah perjalanan penyakit. Penggunaan teknik anestesi regional, khususnya anestesi spinal (SA) pada pasien dengan MS telah menjadi kontroversi sejak lama.13,16 Anestesi spinal dapat dianggap sebagai serangan mekanis (pungsi lumbal) dan kimia (pemberian anestesi) terhadap rongga subarachnoid. Pasien dengan MS biasa mengalami pungsi lumbal untuk tujuan diagnosis, poses dan untuk injeksi terapeutik atau obat paliatif tanpa adanya perubahan pada aktivitas penyakit pada laporan yang telah dipublikasikan.17,18

MANAJEMEN ANESTESI PADA MS
Pasien dengan MS memerlukan perhatian perioperatif khusus yang bisa mempengaruhi pemilihan teknik anestesi. Ini termasuk disfungsi respirasi dari kelemahan neuromuskular, hal-hal mengenai manajemen udara, aspirasi, regulasi kardiovaskular abnormal, gejala terinduksi suhu, berbagai respon terhadap relaksan otot, insufisiensi adrenal, dan peubahan neurologik postoperatif.14,15,19
- Pasien dengan MS bisa memiliki gejala yang bervariasi dari insufisiensi respirasi, yang berhubungan dengan derajat disabilitas neurologis. 20 Kontribusi faktor mencakup lesi protektif jalan napas dari spine servikal, penurunan komplias dinding dada akibat spastisitas dan deformitas spinal, pneumonitis aspirasi rekuren. Pola restriktif biasanya didapatkan dengan tes fungsi paru. Menariknya, tingkatan dari kelemahan otot respirasi bisa lebih besar dari yang diharapkan dari pemeriksaan klinis.20
- Manajemen airway bisa dipersulit dengan keberadaan spondilosis servikal atau penyakit diskus intervertebral dengan mielopati kompresif, oleh kiposis atau spastisitas pergerakan leher, dan oleh resiko aspirasi.22
- Gagal otonom dengan refleks kardiovaskular abnormal dan hipotensi ortostatik biasa ditemukan pada MS dan bisa menggambarkan lesi pada batang otak atau medula spinalis.23 Meskipun konsekuensi dari abnormalitas ini pada periode perioperatif belum diketahui dengan baik, kasus dari hipotensi berat setelah anestesi spinal dan epidural pada pasien dengan MS telah dilaporkan.24
- Suksinilkolin dapat menginduksi pelepasan abnormal dari potassium pada pasien dengan patologi upper motor neuron substantif tanpa atrofi otot signifikan.14 Respon terhadap relaksan otot non depolarisasi bisa memanjang25, tapi bisa juga normal.15
- Gejala dengan variasi suhu tubuh adalah penemuan klasik pada MS.6 Perubahan neurologik reversibel telah ditemukan pada pasien yang mengalami hipertermia setelah operasi.13
- Pasien dengan MS lebih rentan terhadap gangguan kejang, yang bersifat fokal dan ini menggambarkan lesi kortikal atau subkortikal.26 Apakah ini menurunkan ambang rangsang kejang pada wajah dari pemicu epileptik perioperatif belum diketahui.
- Perubahan neurologis post operatif telah dilaporkan pada pasien dengan MS. Ini bisa menggambarkan eksaserbasi penyakit atau komplikasi dari anestesi atau operasi yang tidak berhubungan dengan MS13-15,19 Memisahkan kemungkinan-kemungkinan ini bisa tampak jelas seperti ketika gejala mencakup sistem saraf perifer; bagaimanapun, manifestasi klinis juga bisa samar-samar, seperti disfungsi saraf kranial post operatif yang dapat dihubungkan dengan relaps MS atau terhadap SA.

ANESTESI REGIONAL PADA MS
Keuntungan dan kekurangan dari anestesi regional pada MS belum dipelajari secara prospektif random. Bukti relevan bisa dilihat secara eksperimen dan klinik dan bisa dibahas dalam hal fungsi sodium channel, neurotoksisitas anestesi lokal, komplikasi neurologis dari SA, dan laporan klinik SA pada populasi MS.

PERUBAHAN PADA AKTIVITAS CHANNEL SODIUM
Banyak gejala MS yang berhubungan dengan abnormalitas pada sifat neuronal fundamental seperti konduksi aksonal dan transmisi sinaptik. Gejala negatif seperti defisit sensoris dan motoris, ataksia dan kebutaan dihubungkan perlambatan atau penghilangan konduksi aksonal; gejala positif seperti neuralgia, parestesia, phosphen, dan sensasi pelepasan elektrik dari fleksi leher (tanda Lhermitte) bisa menggambarkan pelepasan aksonal ektopik, transmisi ekstra sinaptik, dan mekanosensitivitas neuron.4 Sifat neuronal yang aneh berhubungan dengan demielinisasi27, namun kaitan antara hilangnya integritas mielin dan disfungsi aksonal pada MS masih belum jelas.2,28 Beberapa observasi yang menunjukkan perubahan pada aktivitas channel sodium berperan dalam ekspresi klinis dari MS:
- Demielinisasi eksperimental dihubungkan dengan perubahan pada densitas, distribusi , dan subtipe dari channel sodium aksonal
- CSF dari pasien dengan MS mengandung molekul yang memblok voltage gated channel sodium30 dan konduksi saraf 31 dalam pola yang mirip dengan anestesi lokal.
- Anestesi lokal yang diberikan intravena pada pasien dengan MS dapat memperlihatkan gejala negatif yang tidak tampak secara klinis32 dan menurunkan intensitas dari gejala positif.33
Tidak jelas, berkaitan dengan penemuan ini, bagaimana agen blok sodium chanel diberikan secara neuroaksial seperti anestesi lokal bisa mempengaruhi gejala MS dan progresi penyakit.

TOKSISITAS ANESTESI LOKAL
Meskipun telah digunakan sejak lama, semua anestesi lokal memberikan efek toksisitas tergantung konsentrasi.34 Neurotoksisitas anestesi lokal digambarkan sebagai (1) perubahan histologis seperti degenerasi aksonal demielinisasi dan inflamasi; (2) gangguan fisiologis yang berkaitan dengan gangguan sawar darah otak, perubahan pada aliran medulla spinalis dan abnormalitas elektrofisiologis; dan (3) gejala klinis seperti nyeri, perpanjangan defisit sensoris atau motoris, kejang dan koma.34 Meskipun perubahan ini sebagian besar terjadi pada konsentrasi obat diatas kisaran efikasi, ini menimbulkan pertanyaan teoritis mengenai penggunaan anestesi lokal pada MS. Secara khusus, bila dipertanyakan apakah demielinisasi, degenerasi aksonal, inflamasi dan disfungsi sawar darah otak yang berhubungan dengan MS mungkin (1) dieksaserbasi oleh keberadaan komponen anestesi lokal dan (2) penurunan ambang toksisitas anestesi lokal.

LIDOKAIN
Lidokain pada konsentrasi relevan yang klinis lebih neurotoksik daripada konsentrasi yng sama pada anestesi lokal lain.35 Lidokain SA dikaitkan dengan 4-33% insiden dari gejala neurologis postoperatif sementara dan 1 dari 1300 injsiden dari gejala yang lebih lama, yang secara signifikan lebih dari agen anestesi lokal lain.34,35 Gejala-gejala ini biasanya menggambarkan radikulopati lumbosakral (sindrom kauda ekuina), yang muncul kurang dari satu minggu pada mayoritas kasus. Akibat neurologik, khususnya pada sindrom kauda ekuina bisa terjadi lebih sering pada anestesi spinal yang menggunakan lidokain kontinyu, khususnya jika dipakai kateter berkaliber kecil.35

KOMPLIKASI NEUROLOGIS DARI ANESTESI SPINAL
Komplikasi neurologis yang berkaitan dengan SA mencakup sakit kepala post- dural, radikulopati, nervus kranial palsy.36 Contoh yang jarang yaitu emfiema, meningitis aseptik, arachnoiditis, hematoma epidural dan mielitis telah dilaporkan.36 Pada sebuah survei observasi, komplikasi neurologis ditemukan 34 dari 40.640 anestesi spinal dengan lima kasus dengan gejala yang bertahan melewati 3 minggu dan disebut permanen.37 Pada survei skala besar lain, insiden sequelae neurologis permanen adalah 1 dari 65.000 prosedur. Studi ini dan yang lainnya mendukung pernyataan bahwa SA adalah teknik yang relatif aman.

MANAJEMEN ANESTESI PADA MS
Laporan yang telah dipublikasikan mengenai manajemen anestesi pada pasien dengan SA terdiri dari 23 laporan, termasuk 14 laporan kasus dari 4 atau kurang pasien,* delapan seri retrospektif dari 8 sampai 62 pasien, dan satu studi observasi prospektif,7 (lihat tabel 43-1). Laporan ini menjangkau periode lebih dari 60 tahun dan secara jelas bersifat heterogen dalam ukuran, teknik anestesi, manajemen perioperatif, karakterisasi endpoint, lama follow up dan laporan dari penemuan neurologis. Pada banyak makalah, detail dari prosedur anestesi, seperti ukuran dan tipe jarum, dosis, barisitas dari anestesi lokal tidak dipaparkan. Pada tabel 43-1 semua laporan perubahan neurologis post operatif didaftar berdasarkan kealamian mereka, durasi atau perkiraan etiologi.
Setelah mempertimbangkan seri yang lebih besar yang mencakup delapan atau lebih pasien, total 327 pasien mengalami 511 prosedur anestesi, mencakup 228 anestesi umum, 105 epidural, 29 spinal, dan 149 anestesi lokal. Setelah follow up selama berhari-hari sampai berbulan-bulan, 93 episode perubahan neurologis postoperatif ditemukan, berdasarkan perhitungan kasar, ini adalah mencakup 93/511 atau 18,2%. Perubahan neurologis post operatif ditemukan pada 4/29 dari anestesi spinal (14%), 16/228 anestesi umum (16%) dan 6/149 infiltrasi anestesi lokal (4%). Data dari anestesi umum adalah dari enam studi, tidak ada yang mungkin berhubungan dengan perubahan neurologis pada periode post operatif selain hipertermia, yang merupakan penemuan konsisten pada satu laporan.13 Data tentang epidural berasal dari empat studi, tapi semua perubahan neurologis yang dilaporkan terjadi pada satu studi observasi prospektif dari kehamilan atau hasil setelah kehamilan pada 254 pasien wanita dengan MS, 42 diantaranya menerima anestesi epidural.7 Setelah pasien yang menerima dan yang tidak menerima epidural dibandingkan, jumlah relaps tidak terlalu berbeda secara signifikan.7

ANESTESI SPINAL PADA MS
- Lima laporan pertama dari SA yang dilakukan dalam setting perubahan jangka panjang MS dari fungsi neurologis diinterpretasi sebagai relaps penyakit39-42 atau onset.16,43 Penulis dari berbagai makalah ini mengekspresikan perhatian mengenai hubungan antara eksaserbasi neurologik dengan SA.
- Pada contoh 42 pasien MS yang mengalami bedah dengan anestesi umum atau anestesi spinal. Bamford dkk47 menemukan dua kasus dari perubahan neurologis pada sembilan pasien yang menjalani SA; satu dari kasus ini adalah pasien dimana gejala sementara terjadi dalam hubungannya dengan sepsis luka, yang lain adalah parturien yang mengalami kelemahan ekstremitas bawah unilateral yang persisten selama beberapa bulan setelah melahirkan dalam pengaruh SA. Karena jumlah perubahan neurologis lebih kecil daripada anestesi umum, penulis lebih menyukai SA
- Bouchard dkk44 mempelajari sembilan pasien dengan MS yang mengalami 14 prosedur bedah urologi atau plastik di bawah SA dengan prilokain, atau tetrakain dan melaporkan hanya satu abnormalitas neurologik postoperatif, defisit sensoris ekstremitas bawah sementara; berdasarkan hasil ini, penulis menyimpulkan SA merupakan teknik yang aman pada populasi pasien ini.
- Kytta dan Rosenberg24 menganalisa 56 pasien dengan MS, di mana dua diantaranya menerima SA, dan tiga anestesi epidural tanpa perubahan neurologis postoperatif; namun penulis mencatat adanya hipotensi intraoperatif refraktif terhadap pemberian cairan dan vasopresor pada pasien yang diberikan anestesi regional.
- Dua makalah mengenai penggunan opioid intratekal45,46; satu dari kasus-kasus ini, seorang pasien dengan MS yang mengalami penyakit paru restriktif berat yang berhasil menjalani kolektomi sigmoid dengan ametokain dan diamorfin dengan teknik anestesi spinal kontinyu, tanpa berkaitan dengan perubahan neurologis postoperatif.46
- Levesque dkk47 melaporkan seorang pasien yang mengalami nervus palsy saraf keenam kanan, satu hari setelah prosedur anestesi dengan SA, yang oleh penulis disimpulkan sebagai presipitasi oleh SA.



AREA KETIDAKPASTIAN
Kontroversi seputar apakah eksaserbasi MS memiliki keterkaitan dengan kejadian perioperatif harus dibicarakan dalam diskusi yang lebih luas mengenai apakah, bagaimana, dan kepada apa pemicu lingkungan berhubungan dengan relaps penyakit ini. Telah diduga bahwa progresi dari penyakit ini tergantung dari konstelasi faktor lingkungan yang mengenai pasien yang memiliki predisposisi genetik, masih dicoba untuk mengidentifikasi faktor nongenomik yang secara meyakinkan mempredikisi bahwa relaps MS telah menghasilkan sedikit hasil yang konsisten.3,4,12. Keadaan di mana fakta terkuat, periode postpartum7,8 hanya memperhitungkan proporsi kecil dari eksaserbasi penyakit pada populasi MS.
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang dapat ditujukan dalam studi klinik dan eksperimental:
- Survei epidemiologi untuk menentukan apakah periode perioperatif bebas dari kaitan dengan resiko dari eksaserbasi penyakit yang lebih besar dari yang diperkirakan. Perubahan penyakit perioperatif perlu dikarakterisasi sebagai onset penyakit, relaps, pseudoeksaserbasi dan konversi dari relapsing-remitting menjadi progresif sekunder. Kriteria untuk membedakan antara gejala neurologik yang berkaitan dan tidak berkaitan dengan MS harus jelas pada studi ini.
- Jika periode perioperatif diketahui meningkatkan resiko relaps, studi observasi diperlukan untuk menandai masing-masing kontribusi anestesi, bedah, atau faktor perioperatif lain dan hubungan antara MS dan agen anestesi spesifik dan teknik anestesi seperti SA.
- Studi diperlukan untuk memeriksa efek anestesi lokal dalam setting demielinisasi. Penelitian bisa dilakukan dengan menggunakan hewan yang memiliki ensefalomielitis autoimun eksperimental, sebuah model yang memberikan banyak aspek patofisiologis dengan MS pada manusia.2
- Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan perubahan yang terkait MS pada tipe, fungsi, distribusi dan densitas chanel sodium,26 sebagaimana keberadaan bloker chanel sodium endogen,27 bisa mempengaruhi efek dan toksisitas dari anestesi lokal.

REKOMENDASI PENULIS
Gejala neurologis postoperatif pada pasien dengan MS dapat memberikan perubahan pada aktivitas penyakit atau komplikasi perioperatif yang tidak berkaitan dengan MS. Jika perubahan aktivitas penyakit terjadi, ini bisa berhubungan atau tidak berhubungan dengan kejadian perioperatif. Data terbaru yang tersedia tidak bisa memberikan perbedaan yang jelas di antara kemungkinan-kemungkinan ini.
Data dari hasil perioperatif pada setting MS tidak cukup untuk memberikan pernyataan yang berhubungan dengan ketepatan teknik anestesi spesifik. Keputusan untuk melakukan anestesi regional harus dibuat setelah melakukan pertimbangan benefit dan resiko.
Review sistemik terbaru menunjukkan bahwa blokade neuroaksial, digunakan sendirian atau dalam kombinasi dengan anestesi umum, dapat berpengaruh secara signifikan terhadap mortalitas setelah operasi,48; namun, dua percobaan random berskala besar telah gagal untuk memperkuat efek ini.49,50 meskipun reduksi dalam komplikasi pulmonal ditemukan pada satu dari semua itu.49 Sampai didapatkan data yang lebih banyak, akan masuk akal untuk membatasi penggunaan anestesi regional pada individu dengan MS yang memiliki kondisi yang terjadi bersama-sama dimana terdapat kepastian yang lebih besar mengenai manfaat hasil yang mungkin, khususnya, pasien dengan disfungsi pulmonal atau kehamilan. Wanita memiliki resiko tinggi terjadinya relaps pada periode post partum, ini tampaknya tidak dipengaruhi oleh pemakaian anestesi epidural.7
- Preoperatif, dokter harus melakukan review perjalanan penyakit, terapi, gejala terkini, seperti pemeriksaan neurologis, riwayat dari penggunaan anestesi sebelumnya harus diperoleh. Pasien harus sadar dengan kemungkinan eksaserbasi neurologis postoperatif tanpa terkait dengan teknik anestesi yang direncanakan.
- Intraoperatif dan postoperatif, tujuannya termasuk penghindaran dari hipertermia, seperti antisipasi dari insufisiensi kardiak (disfungsi otonom) dan insufisiensi respirasi (aspirasi, penyakit paru restriktif). Suplementasi glukokortikoid sebaiknya diberikan secara relevan.
- Postoperatif, pasien sebaiknya dinilai dengan perhatian ketat yang diberikan terhadap perubahan gejala dan tanda fisik. Gejala neurologis baru perlu dengan seksama dikarakterisasi, didokumentasi dan diinterpretasi. Jumlah data perioperatif yang diperlukan untuk membedakan MS dari komplikasi yang tidak berkaitan, dan untuk memutuskan ketepatan dari intervensi diagnostik dan terapeutik. Perubahan sementara dari gejala neurologis sebaiknya dievaluasi dengan follow up.


..

.

Related Post



0 comments:

Posting Komentar