rss
twitter
    Find out what I'm doing,...

BLOK SIMPATIS



DM. Justins

Sistem saraf simpatis telah menjadi target teknik menghilangkan rasa nyeri sejak awal abad ke 20, meski saat ini teknik tersebut lebih jarang digunakan jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dua faktor terpenting adalah semakin baiknya pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan timbulnya kesadaran bahwa peranan sistem saraf simpatis terhadap rasa nyeri terlalu dilebih-lebihkan (di masa lalu) (Schott 1998). Hal ini menyebabkan diadakannya peninjauan ulang mengenai peranan blok saraf dalam penatalaksanaan nyeri kronis, dan pengembangan terapi yang lebih logis dengan menggunakan pengobatan sistemik, teknik stimulasi, terapi fisik, dan pendekatan psikologis (Boas 1998). Analisis terhadap bukti efektifitas blok simpatis terhadap penatalaksanaan nyeri hanya didasari anekdot (pendapat-pendapat) dan tidak ada penelitian mengenai hal ini yang menggunakan uji kontrol-acak dengan kontrol. (Kozin 1992, Kingery 1997).
Masih belum sepenuhnya dipahami tentang bagaimana sistem saraf simpatis terlibat dalam patofisiologi beberapa kondisi nyeri atau mengapa blok simpatis dapat menghilangkan rasa nyeri. Hilangnya nyeri dapat disebabkan oleh adanya interupsi saraf nosiseptif aferen yang berjalan bersama saraf otonom. Mekanisme inilah yang dapat menjelaskan hilangnya nyeri persalinan oleh blok epidural obstetri dan blok pleksus koeliak menghilangkan nyeri viseral akibat karsinoma pankreas. Pada kasus lain, mekanismenya mungkin saja lebih rumit dan terkait dengan interupsi aktifitas eferen simpatis yang berperan dalam timbulnya kondisi-kondisi nyeri (sering disebut nyeri “yang dipengaruhi simpatis”).
Mekanisme kerja blok simpatis lain mungkin melibatkan gangguan sistem kendali refleks sehingga dapat merubah proses sensoris sentral atau perifer. Yang terakhir, blok simpatis menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat meredakan nyeri iskemik serta memudahkan penyembuhan ulkus kulit yang amat nyeri.



PRINSIP-PRINSIP UMUM
INDIKASI BLOK SIMPATIS
Penyakit vaskular perifer
Blokade simpatis dapat digunakan untuk kondisi-kondisi berikut;
1. Gangguan vaskuler akut: vasospasme pasca-trauma; oklusi akut pada arteri atau vena; cedera karena suhu dingin, injeksi obat intra-arterial yang salah, contohnya thiopentone atau penyalahgunaan obat yang terkontaminasi.
2. Kondisi Vasospastik kronis : sindrom Raynaud; acrocyanosis; livedo retikulkaris, gejala sisa akibat cedera atau penyakit pada medulla spinalis (seperti polio).
3. Penyakit sumbatan arteri kronis : Tromboangitis obliterans (penyakit Buerger); dan aterosklerosis.
4. Untuk penggunaan perioperatif : Bedah mikrovaskuler, operasi untuk membuat fistula arteriovena untuk tujuan dialisis.

Namun, tidak ada uji kontrol mengenai simpatektomi (dengan bahan) kimia pada penyakit pembuluh darah perifer dan banyak diantara bukti-bukti hanya merupakan pendapat (anekdot) (Gordon 1994). Sulit untuk memprediksikan hasil blok pada pasien aterosklerosis. Blok simpatis neurolitik lumbal disinyalir dapat meredakan nyeri dan mempercepat penyembuhan ulkus kulit pada 65-75% pasien aterosklerosis meski prosedurnya kurang menguntungkan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena simpatektomi dapat meningkatkan aliran darah ke kulit, namun tidak memperbaiki aliran nutrisi ke otot. Namun, Gleim dkk (1995) tidak sependapat dengan pandangan ini dan mereka melaporkan hilangnya rasa nyeri dalam waktu singkat dan bertahan lama secara signifikan pada saat pasien berjalan jauh setelah dilakukan blok simpatis lumbal dengan neurolitik. Efek ini dapat berlangsung sampai 6-9 bulan dan selama kurun waktu ini dapat terbentuk sirkulasi kolateral pada pasien.

Hasil ini sebanding dengan simpatektomi melalui pembedahan, namun dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah. Pada prosedur amputasi, blok simpatis preoperatif dapat membantu menentukan batas-batas viabilitas jaringan, dan juga mempercepat penyembuhan ujung luka amputasi namun hanya sedikit bukti yang mendukung pendapat umum selama ini bahwa bahwa blok epidural preoperatif dapat menghilangkan nyeri pada ujung luka amputasi atau nyeri phantom setelah amputasi. (Nikolasjen & Jensen 2001). Nyeri luka amputasi atau nyeri phantom ini terkadang dibantu oleh blokade simpatis; namun pengobatannya secara umum sulit dan tidak memuaskan.

Nyeri Visera
Serabut nosiseptif aferen visera berjalan bersama saraf simpatis. Blok simpatis dapat mengganggu jalur-jalur ini, begitu pun dengan eferen refleks visero-viseral sehingga dapat menyebabkan iskemia dan spasme dapat mereda. Situasi-situasi dimana blokade (simpatis) dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Kanker abdomen. Blok pleksus coeliac dengan neurolitik dapat meredakan nyeri parsial hingga sempurna terhadap sekitar 70-90% pasien dengan nyeri yang ditimbulkan oleh karsinoma pankreas, lambung, kandung kemih, atau hati (Brown dkk 1987, Eisenberg, dkk 1995). Mercadante (1993) membandingkan antara blok pleksus coeliac dengan analgesik konvensional terhadap 20 pasien dan menunjukkan efek-efek yang menguntungkan dari kedua pengobatan ini, meskipun insidens efek sampingnya lebih tinggi pada kelompok analgesik sistemik. Nyeri pada keganasan abdomen lain dan tenesmus rektal akibat karsinoma pelvis juga dapat tertolong (dengan blok simpatis) (Bristow & Foster 1998). Pengggunaan blok neurolitik pada pleksus hipogastrika superior telah digunakan untuk nyeri pelvis kronis terkait dengan kanker (Plancarte dkk 1999a; Leon Casasola dkk 1993). Blok ganglion pada ujung inferior Sacrum telah digunakan untuk meredakan nyeri perineum pada kanker .
2. Nyeri abdomen kronis non-maligna. Responnya pada nyeri ini tidak sama baiknya , hasil blok pleksus coeliac pada pankreatitis kronis mengecewakan. Blok simpatis unilateral pada L1 terkadang dapat membantu pada sindrom hematuria yang menimbulkan nyeri pada area pubis (loin-pain). Dikatakan bahwa beberapa sindrom nyeri perineum kronis berespon baik terhadap blok simpatis lumbal bilateral , dan blok hipogastrik superior telah digunakan untuk mengatasi sindrom nyeri pelvis kronis non-maligna.
3. Nyeri abdomen akut. Mungkin ada beberapa manfaat blok simpatis dalam mengatasi nyeri pada pankreatitis dan kolik ureter, namun hal ini biasanya dapat diatasi dengan analgesik sistemik.
4. Nyeri jantung. Nyeri pada infark miokard akut dan angina yang tidak terkendali, dapat dihilangkan dengan blok simpatis pada segmen thoraks bagian atas atau ganglion stelata.
Blok ganglion stelata digunakan untuk angina yang tidak terkendali sebelum pembedahan “bypass” jantung dilakukan dan blokade ini semakin banyak digunakan dalam perawatan pembedahan“bypass” jantung saat ini. Endoskopi simpatektomi transthoraks diketahui bermanfaat dalam sebuah penelitian tanpa kontrol yang melibatkan 24 pasien dengan angina berat (Wettervik dkk 1995).
5. Penggunaan untuk tujuan perioperatif. Anestesi untuk pembedahan abdomen bagian atas dapat dicapai dengan menggunakan kombinasi blok saraf interkostal dan pleksus coeliac.
Hiperhidrosis.
Blok simpatis dapat menghasilkan anhidrosis dan pasien dengan hiperhidrosis dapat disarankan untuk menjalani simpatektomi, sebelum dilakukannya blokade simpatis neuroablatif, pasien-pasien harus melalui uji perawatan konservatif. Berbagai efek samping seperti sindrom Horner sering terjadi dalam usaha dilakukannya prosedur neurolitik. Endoskopi Simpatektomi transthoraks ekstremitas atas merupakan alternatif yang aman dan efektif pada simpatektomi servikal terbuka dalam penanganan hiperhidrosis ekstremitas atas, seperti pada kondisi vasospastik dan nyeri yang ditimbulkan oleh simpatis. (Byrne dkk 1990)

Nyeri neuropatik.
Etiologi nyeri neuropatik (bab 3) kemungkinan dimediasi antara lain oleh metabolik, iskemik, herediter, kompresif/tekanan, traumatik, toksik, infeksi/ atau imunitas. (Woolf & mannion, 1999). Biasanya terjadi defisit sensoris, gangguan sensasi (seperti parestesia) dan nyeri. Pada beberapa kasus nyeri dapat ditimbulkan oleh aktifitas eferen simpatis atau oleh katekolamin yang beredar dalam sirkulasi. Setelah terjadinya cedera saraf parsial, baik akson yang cedera maupun yang tidak, akan menjadi sensitif terhadap katekolamin sirkulasi dan norepinefrin yang dilepaskan dari terminal post ganglion simpatis (Woolf & Mannion 1999). Badan sel saraf sensoris dalam akar ganglion dorsalis juga berada dibawah pengaruh akson simpatis terdekat setelah cedera saraf sehingga aktifitas simpatis mampu mengawali atau mempertahankan aktifitas dalam serat sensoris (McLachlan dkk 1993). Nyeri ini dapat digambarkan sebagai nyeri yang ditimbulkan oleh simpatis.
Sayangnya sedikit sekali bukti-bukti kuat mengenai efektifitas blok simpatis dalam nyeri neuropatik (Kozin 1992, Kingery 1997, Boas 1998) dan, sebagaimana di sebutkan di atas, tampaknya peranan sistem saraf simpatis dalam situasi-situasi ini terlalu dilebih-lebihkan (Schott 1998). Sedikitnya bukti-bukti yang tersedia saat ini menunjukkan buruknya kualitas dari percobaan-percobaan yang ada yang sering dilaporkan pada pasien-pasien dengan kondisi klinis yang heterogen. Berbagai macam blok telah digunakan dengan tidak semestinya sebagai modalitas terapi tunggal untuk kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan terapi multidisiplin. Contoh-contoh nyeri neropatik antara lain:

Herpes Zoster akut. Ada pendapat-pendapat bahwa blok simpatis dapat mengurangi nyeri dan merangsang proses penyembuhan saat fase akut, namun pendapat bahwa insidens neuralgia postherpetika ini dapat direduksi masih belum terbukti (Hogan 1993, Ali 1995). Hal yang pasti, blok simpatis tidak terbukti bermanfaat dalam penanganan neuralgia postherpetika. (Wu dkk 2000).
Neuropati karsinomatosa. Invasi oleh karsinoma, terutama pada pleksus lumbal atau brachialis, dan karsinoma pada kepala dan leher dapat menimbulkan nyeri neuropatik yang umumnya berespon terhadap blok simpatis.
Sindrom nyeri regional kompleks (CRPS). Causalgia dan distrofi refleks simpatis (RSD) merupakan istilah yang digunakan untuk mengambarkan dua kelainan yang kurang dimengerti yang biasanya muncul nyeri bersamaan dengan berbagai kombinasi gangguan sensoris, kelainan motorik, pembengkakan, dan perubahan vasomotor, sudomotor dan tropik. Causalgia terjadi setelah cedera saraf mayor, dan RSD terjadi setelah berbagai penyebab lainnya. Istilah ‘distrofi refleks simpatis” saat ini dipandang tidak tepat dan telah ada istilah baru. Distrofi refleks simpati saat ini dikenal dengan nama CRPS Tipe I dan Causalgia menjadi CRPS Tipe II (Meskey & Bogduk 1994, Walker & Cousins, 1997)..

Kriteria diagnostik untuk CPRS tipe I (Merskey & Bogduk 1994) antara lain.
1. Adanya kejadian yang merusak atau penyebab imobilisasi
2. Nyeri terus menerus, allodynia atau hiperalgesia di mana nyeri yang muncul tidak sesuai dengan penyebabnya.
3. Bukti adanya edema pada waktu tertentu, perubahan aliran darah pada kulit atau kelainan aktifitas sudomotor pada region yang terasa nyeri.
4. harus ditemukan keadaan di mana tidak ada kondisi lain yang diduga menjadi penyebab beberapa derajat nyeri dan disfungsi yang semestinya terjadi.
Kriteria 2 sampai 4 sudah dapat menentukan diagnosis.
Kriteria diagnosis untuk CRPS tipe II, antara lain:
1. Adanya rasa nyeri terus menerus, allodynia, atau hiperagesia setelah cedera saraf, tidak hanya terbatas pada daerah saraf yang terkena (cedera).
2. Adanya bukti edema pada waktu tertentu, perubahan aliran darah pada kulit atau adanya kelainan aktifitas sudomotor pada region nyeri.
3. harus ditemukan keadaan di mana tidak ada kondisi lain yang diduga menjadi penyebab nyeri dan disfungsi yang semestinya terjadi.
Bila 3 kriteria tersebut terpenuhi, maka diagnosis dapat ditegakkan.
Saat ada bukti atau dugaan keterlibatan simpatis, terapi agresif termasuk blokade saraf simpatis, harus segera dilakukan. Sayangnya, hasil yang dicapai kurang memuaskan dan pada beberapa kasus masih sulit dikendalikan, melihat setiap terapi hanya berdasarkan coba-coba. Kemungkinan peranan terbesar blok adalah untuk mengurangi nyeri dan menfasilitasi fisioterapi (Charlton 1990). Penyembuhan menjadi lambat begitu terjadi perubahan distrofik dan berbagai kondisi dapat terjadi menyusul peningkatan nyeri dan disabilitas yang tidak dapat pulih. Blok anestetik lokal tampaknya lebih baik dari terapi konservatif dalam sebuah penelitian tanpa kontrol terhadap pasien-pasien RSD (Wang dkk 1985) Blok simpatis dan somatik ekstremitas atas secara terus menerus dapat dilakukan dengan menggunakan infus yang diberikan melalui kateter pleksus brachialis. Teknik ini telah digunakan dalam perawatan RSD dan setelah bedah mikrovaskuler rekonstruktif (Manriques & Pallares 1978).

Tidak diragukan lagi, terkadang pasien dengan nyeri neuropatik atau CRPS merasakan manfaat blok simpatis, namun pengidentifikasian pasien-pasien ini amat sulit dan banyak pertanyaan mengenai patologinya yang harus dijawab. Belum ada pedoman jelas mengenai indikasi untuk teknik-teknik dan frekuensi optimal yang berbeda, interval dan durasi terapinya masih belum ditegakkan.

Indikasi lainnya
Sebagai tambahan terhadap kondisi-kondisi tersebut diatas, penulis lain telah menyarankan blok simpatis antara lain : blok ganglion stellata untuk “Bell’s Palsy” , toksisitas kinin, oklusi arteri retina dan tipe-tipe tertentu dari kehilangan pendengaran akut.
Kontraindikasi blok simpatis:
Terapi antikoagulan dan gangguan perdarahan.
Terdapat resiko bermakna pada kerusakan pembuluh darah dengan penggunaan teknik ini oleh karena trunkus simpatis terletak dalam dan dekat ke pembuluh darah utama. Hematoma besar terbentuk bila ada gangguan pembekuan.

Infeksi lokal atau neoplasma.
Jarum sebaiknya tidak disuntikkan melalui jaringan yang terinfeksi atau jaringan neoplastik karena ada resiko penyebaran ke struktur yang lebih dalam.
Anomali anatomi atau vaskuler.
 dapat membuat blok menjadi lebih sulit dan mengurangi tingkat keberhasilan. Pembuluh darah yang mengalami anomali meningkatkan resiko kecelakaan pungsi jarum.)Kelainan anatomis (seperti tekanan dari tumor atau skoliosis spinal
Hipovolemia.
Blok simpatis splanik, koeliak dan lumbal bilateral dapat memicu hipotensi yang nyata.
Fasilitas tak lengkap.
Fasilitas lengkap untuk resusitasi dan kontrol radiografis terhadap prosedur-prosedur yang dilakukan harus tersedia (lihat dibawah)

Aplikasi klinis blok simpatis.
Tidaklah tepat jika menggunakan blok simpatis sebagai dasar terapi penatalaksanaan kontrol nyeri. Pemeriksaan komprehensif dan pendekatan multidisipliner dengan menggunakan metode-metode perawatan seperti pengobatan sistemik, terapi fisik, teknik stimulasi (seperti TENS) dan pendekatan psikologis sangat penting dalam penetalaksanaan blok saraf. Ada beberapa kondisi di mana tanggung jawab ahli anestesi adalah untuk melakukan blok simpatis, sementara aspek-aspek penanganan lainnya dikoordinasikan dengan dokter lain. Contohnya, sebuah prosedur simpatektomi lumbal untuk pasien dengan penyakit vaskuler perifer atau blok pleksus coeliac untuk pasien dengan karsinoma pankreas. Penting untuk ahli anestesi agar bekerja sebagai bagian dari tim dalam situasi-situasi tersebut.

Blok diagnostik dapat digunakan untuk membedakan antara nyeri somatik dan visceral, untuk mengenali komponen simpatis, untuk memeriksa apakah aliran darah meningkat, atau produksi keringat menurun. Bila ada usaha yang dilakukan untuk menentukan peranan simpatis terhadap sindrom nyeri tertentu, blok diagnostik harus merupakan blok simpatis murni tanpa disertai blok somatik. Hal ini hanya dapat dicapai dengan interupsi yang tepat terhadap rantai simpatis. Baik teknik injeksi epidural maupun intravena regional dengan anestetik lokal atau guanetidin bukanlah teknik yang selektif dan tidak membantu diagnosis nyeri yang dipengaruhi oleh simpatis. Sebuah gambaran radiografis yang jelas dapat digunakan untuk melihat ketepatan posisi jarum dan penyebaran larutan injeksi. Tanda-tanda objektif blok simpatis harus diketahui dengan melihat perubahan temperatur kulit atau konduktifitas, atau dengan uji produksi keringat dengan ninhdrin, kobalt biru atau tepung yodium. Temperatur kulit dapat diuji dengan sentuhan, termometer permukaan, atau strip sensitif temperatur dengan layar penunjuk cair (LCD). Ketika ekstremitas diblok, vena yang mengalami dilatasi menjadi tampak jelas dan peningkatan aliran darah dapat diukur dengan menggunakan probe aliran Doppler atau pletysmograf vena (Breivik dkk 1998). Adanya sindrom Horner tidak menegaskan bahwa terjadi blok simpatis pada tangan.
Hasil positif palsu dapat berhubungan dengan penyebaran larutan pada saraf somatik didekatnya atau ke dalam ruang epidural, efek sistemik agen anestesi lokal yang diserap dari lokasi injeksi, atau merupakan respons terhadap plasebo. Hasil negatif palsu dapat menyusul setelah blok yang tidak lengkap atau tidak semestinya dan tidak lengkapnya pemeriksaan sebelum atau setelah pemblokan. Sebuah blok simpatis lengkap sulit untuk dilakukan (Malmgvist dkk 1987). Banyak secara bersamaam melibatkan komponen simpatis dan somatis dalam nyeri yang dialaminya. Tidak ada hubungan jelas antara derajat atau durasi hilangnya nyeri dengan periode blok simpatis, dan pada pasien yang sama dapat memberikan respon yang bervariasi dalam situasi yang berbeda. Beberapa pasien menunjukkan respons yang tidak diperkirakan atau tidak biasa. Seperti blok kontralateral atau blok yang terlambat dan pada beberapa kondisi nyeri justru semakin buruk. (Purcell – Jones & Justin 1988).

Uji intravena dengan pemberian obat blok α adrenergik secara intravena dengan pentolamine telah diajukan sebagai uji terhadap keterlibatan simpatis pada nyeri kronis dan merupakan prediktor dari hasil blok saraf simpatis (Arner 1991, Raja dkk 1991). Namun masih belum ada kepastian mengenai sensitifitas, spesifitas, dan keandalan uji ini.

Sebuah blok prognostik dapat digunakan untuk menunjukkan pada pasien efekdari blok terhadap nyeri, aliran darah, atau produksi keringat, namun sedikit ditemukan hubungan yang tidak memuaskan antara hasil blok prognostik dengan hasil prosedur bedah atau neuroablatif apapun setelahnya. Sebuah blok dengan anestetik lokal menghasilkan gangguan yang lebih luas terhadap fungsi saraf. Bila neuroblasi didasarkan pada hasil blok prognostik, maka diperlukan lebih dari satu tindakan di mana diperoleh respons yang konsisten. Terkadang, blok prognostik dapat menghasilkan peningkatan nyeri atau peningkatan temperatur ekstremitas, sehingga pasien merasa tidak nyaman dan tidak dapat menerimanya.

Blok terapeutik dapat dilakukan dengan anestetik lokal bahan kimia neurolitik seperti fenol atau alkohol, dengan teknik neuroablatif seperti pembentukan lesi menggunakan frekuensi-radio, atau dengan obat-obatan seperti guanetidin dan Bretylium dengan teknik intravena regional. Blok neurolitik diindikasikan utamanya untuk nyeri pada kanker abdomen dan penyakit vaskuler perifer yang amat nyeri, dan harus digunakan secara hati-hati dan waspada pada kondisi lainnya. Blok simpatis dengan anestetik lokal dilaporkan lebih baik dibanding terapi konservatif terhadap sejumlah pasien RSD (Wang dkk 1985). Blok pleksus aksillaris brachial memberi hasil yang lebih baik dibanding blok ganglion stellata terhadap sejumlah pasien yang mengalami RSD ekstremitas atas (Defalque 1984). Tidak ada pedoman yang jelas tentang indikasi penggunaan teknik yang berbeda-beda dan frekuensi serta terapi durasi optimal yang ditetapkan.

Hal-hal penting yang dilakukan untuk blok simpatis

1. Penatalaksanaan blok simpatis memerlukan pemahaman menyeluruh mengenai anatomi yang relevan dan patofisiologi kondisi yang mendasarinya. Komplikasi blok simpatis amat sering terjadi dan dapat bersifat amat serius.

2. Persetujuan tindakan (inform consent) harus diselenggarakan bersama pasien sebelum dilakukannya blok sehingga pasien mengerti mengenai tindakan apa yang direncanakan dan untuk tujuan apa blok dilakukan.

3. Perangkat resusitasi harus tersedia dan dapat digunakan dengan cepat.

4. Akses vena yang aman penting bagi setiap pasien dan fasilitas-fasilitas untuk perawatan hipotensi harus tersedia. Cairan intravena pre-load berupa larutan kristaloid biasanya diberikan untuk semua blokade bilateral (Splanik, coeliac, hipogastrika superior simpatis lumbal)

5. Pasien-pasien dapat mengalami rasa tak nyaman saat blok dilakukan dan banyak dokter yang melakukan sedasi dengan obat-obatan seperti midazolam dan alfentanil sebagai tambahan terhadap infiltrasi dengan anestetik lokal. Anestesi umum jarang diperlukan. Telah dikemukakan bahwa kerusakan saraf dapat tidak diketahui pada pasien yang telah dianestesi, di mana mereka tidak dapat berbicara maupun berespon.

6. Monitoring ketat harus termasuk pengukuran secara teratur terhadap tekanan darah dan oksimetri denyut nadi. Desaturasi oksigen dapat terjadi pada saat sedasi, terutama saat pasien berada dalam posisi pronasi.

7. Kontrol radiologis dalam bentuk penajam gambar (image intensifier), USG, atau CT-Scan harus dilakukan pada blok splanik, celiak, simpatis lumbal dan hipogastrik. Bila diperlukan, hasil cetak pencitraan tersebut dapat dibuat kapan saja, untuk kelengkapan catatan pasien, terutama untuk prosedur neurolitik. Penajam gambar ini memungkinkan prosedur yang lebih cepat dan aman, mengatasi masalah-masalah anatomis, memudahkan pemasangan jarum dengan tepat, menunjukkan luasnya penyebaran larutan injeksi dan menunjukkan injeksi intravaskuler yang tidak semestinya bila tes aspirasi negatif. Dengan penempatan jarum yang tepat, hanya sedikit saja larutan neurolitik yang digunakan sehingga meminimalkan resiko komplikasi.

8. Teknik aseptik penting dilakukan.
Larutan neurolitik untuk blok simpatis
Sejumlah larutan dapat merusak (jaringan) saraf, tapi fenol dan alkohol paling sering digunakan untuk blok simpatis dengan neurolitik.

Fenol dapat merusak semua tipe saraf dengan cara denaturasi protein. Tidak bersifat selektif dan akan merusak baik saraf motorik dan sensorik, meskipun saraf-saraf tersebut dapat mengalami regenerasi, jadi, blok tersebut sebaiknya tidak boleh dipandang untuk penggunaan permanen. Larutan cair terkuat memiliki prosentase 6,6% namun konsentrasi yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan minyak seperti media kontras sinar X dan ini telah direkomendasikan. Kontras yang mengenai saraf somatic dapat menyebabkan neuritis. Reaksi toksik dapat terjadi diberikan bila dosis 600 mg dalam tubuh pria dengan berat badan 70 Kg.

Alkohol memiliki sifat destruktif non-selektif yang serupa, namun zat ini menghasilkan insidens neuritis yang amat tinggi dan biasanya digunakan untuk blok pleksus coeliac; di mana injeksi dalam volume besar mengalahkan keamanan penggunaan fenol.





Teknik Blok Simpatis

Blok ganglion stellata
Anatomi
Ganglion stellata (cervicothorax) dibentuk oleh gabungan ganglia servikal inferior dan thoraks simpatis pertama. Berada di depan proc.transverses vertebra servikal VII dan vertebra thoraks I dan leher dari rusuk (costa) I. (gambar 21,1) bagian anterior dari fasia prevertebral, bagian bawahnya diselubungi kubah pleura, dan berada di posterior selubung carotid (carotid sheath). Aliran simpatis ke ekstremitas atas utamanya berasal dari ganglia T2 dan T3, sehingga blok ganglion stellata yang menyebabkan sindrom Horner tidak dapat menjamin bahwa suplai aliran simpatis menuju lengan bawah juga dapat diblok. Konfirmasi efektifitas pemblokan pada lengan perlu diketahui dengan pengukuran suhu.

Teknik
Sejumlah pendekatan terhadap ganglion stellata telah diketahui, namun yang paling sederhana dan memuaskan adalah pendekatan paratrakeal anterior. Pada posisi terlentang kepala diekstensikan dan dibuat tanda 2-3 cm diatas dan 2 cm lateral dari lengkung suprasternal. Dilakukan penekanan dengan 2 jari pada alur antara trakea dan selubung carotid. (gambar 21-2) pada pasien yang amat kurus dapat didasarkan prosesus transversus C6 yang berada setingkat kartilago krikoidea. Jarum 23G 30 mm diinsersikan langsung ke arah belakang agar melewati antara trakea dan selubung carotid hingga menyentuh proc.transversus C6 sekitar 2,5 – 3 cm dari kulit. Jarum tersebut kemudian harus ditarik 2-3 mm sehingga ujungnya tepat berada di anterior fasia prevertebra dan M.longus colli. Jarum kemudian difiksasi dalam posisi ini dengan satu tangan sambil dilakukan uji aspirasi. Dosis uji harus dinjeksikan kemudian larutan sebesar 10-15mL diinjeksikan secara lambat, disertai uji aspirasi berulang kali. Penggunaan kateter pendek antara jarum dan spoit dapat membantu melakukan injeksi dalam keadaan jarum tetap tidak bergerak. Pasien harus diberitahu agar jangan berbicara atau menelan saat injeksi dilakukan, namun cukup mengangkat tangan bila terasa nyeri agar injeksi dihentikan. Bila jarum berada dalam fasia yang benar, maka akan terasa sedikit tahanan saat injeksi, namun tidak terjadi pembengkakan. Untuk menghasilkan blok simpatis lengkap terhadap ekstremitas atas maka larutan harus meluas ke ganglion T3 dan diperlukan volume yang lebih besar dari 10 mL. Meski sering dilakukan, hanya terdapat sedikit keuntungan bila memposisikan pasien dalam keadaan duduk untuk membantu penyebaran ke ganglia thoraks (Hardy & Wells 1987 : Hogan dkk 1992).
Pendekatan lainnya. Pendekatan lateral dan posterior hanya dapat digunakan saat pendekatan anterior mengalami kesulitan oleh karena distorsi anatomis. Teknik-teknik ini memiliki kemungkinan insidensi komplikasi yang lebih tinggi, termasuk injeksi epidural dan intratekal.


Pemilihan Larutan
Lignokain 1% sesuai untuk blok diagnosis, sedangkan bupivacaine 0,25% atau 0,5% merupakan pilihan untuk blok lainnya. Infus berkelanjutan pada ganglion stellata dilakukan dengan menggunakan teknik paratrakeal anterior klasik untuk menginsersikan kateter (seperti kateter epidural). Bupivacaine 0,25% dapat diinfuskan hingga 8 mL/jam untuk mempertahankan blok simpatis pada lengan (Owen Falkenberg dkk 1992).
Blok Neurolitik ganglion Stellata berpotensi amat membahayakan dan sebaiknya hanya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Bila teknik ini yang digunakan, sejumlah kecil (kurang dari 1 ml) medium radioopak dapat diinjeksikan dibawah kendali sinar X guna memastikan bahwa struktur di sekitarnya tidak rusak. (Racz & Holkbec 1989). Sebuah teknik untuk menghasilkan lesi frekuensi radio telah dilakukan oleh Geurts dan Stolker (1993). Namun penggunaan teknik endoskopis transtorakal lebih aman dan lebih mudah diprediksi.

Komplikasi
Toksisitas sistemik. Ganglion stellata amat terkait dengan beberapa pembuluh darah utama, terutama arteri vertebra. Injeksi intra-arterial meski hanya dengan dosis semenit dari anestetik lokal dapat menghasilkan dan memulai tanda-tanda toksisitas sentral karena obat dihantarkan langsung ke otak.
Reaksi vasovagal telah siap terpicu dari leher dan hal ini perlu dibedakan dari, toksisitas anestetik lokal. Pasien merasa cemas, pucat, berkeringat dan mual disertai bradikardi dan hipotensi. Penarikan jarum dan elevasi kaki biasanya dapat membantu pemulihan.

Sindrom horner. (meiosis unilateral, ptosis, dan enophthalmus) merupakan hasil dari berhasilnya blok ganglion stellata dan pasien harus diperingatkan mengenai hal ini sebelumnya. Vasodilatasi konjungtiva dan kongesti nasal unilateral juga dapat terjadi. Tidak ada perawatan khusus yang perlu dilakukan, meski miosis dapat dipulihkan dengan obat tetes phenilephine 10%.

Blok saraf lainnya. Bila injeksi berada dalam jaringan yang salah, maka anestetik lokal dapat mempengaruhi akar pleksus brachialis. Tidak diperlukan perawatan, tapi blok tersebut dapat menimbulkan kerancuan diagnostik dan prognostik. Blok nervus phrenicus dapat terjadi bila larutan diinjeksikan terlalu jauh ke arah depan, namun hal ini jarang menimbulkan masalah. Namun, injeksi epidural atau spinal dapat menyebabkan masalah-masalah yang bermakna dan dapat terjadi bila jarum diinjeksikan hingga berada di antara proc.tranversus vertebra didekatnya. Sehingga larutan anestetik lokal juga dapat menyebar sehingga menyebabkan kelumpuhan saraf laringeal rekurens yang ditandai dengan suara parau : pasien harus diingatkan bahwa hal ini kemungkinan dapat menjadi komplikasi.

Kerusakan jaringan. Kubah pleura berada diatas costa I dan amat berhubungan dengan ganglion. Pasien menjadi rentan terhadap pneumothoraks bila jarum diinsersikan kearah kaudal. Esofagus juga rentan mengalami kerusakan bila jarumnya salah penempatan, dan neuralgia interkostal, dapat muncul sebagai nyeri dinding dada yang berat, yang digambarkan terjadi setelah blok ganglion stellata.
Blok stellata bilateral sebaiknya tidak dilakukan karena adanya resiko pneumithoraks, blok n.phrenicus dan kelumpuhan n.laryngeal rekurens.

Blok simpatis thoraks
Segmen atas ganglia simpatis thoraks terletak diatas caput costa dan diselubungi oleh pleura. Ganglia simpatis thoraks kedua atau ketiga di bawahnya berada di sisi Corpus vertebra. Badan simpatis thoraks berjalan diantara ganglia dan tepat berada di depan saraf somatik. Hubungan erat antara saraf somatic dan simpatis antara lain bila ada larutan apapun yang disuntikkan dekat saraf simpatis juga akan menyebar ke akar simpatis. Untuk alas an ini hanya sedikit aplikasi blok simpatis thoraks atas. Teknik bedah endoskopik visualisasi langsung memberikan hasil yang lebih baik.

Teknik
Untuk blok simpatis thoraks atas, pasien sebaiknya berbaring tengkurap. Di bawah pengawasan penguat pencitraan, tingkatan vertebral yang sesuai dapat dikenali dari sebuah jarum spinal dapat diinsersikan 4-5 cm kearah lateral proc. Spinosus, garis tengah antara proc. Transverses. Jarum tersebut kemudian diarahkan ke cephal dan medial pada proc. Transversus yang lebih ke arah cephal dari tingkat tersebut. Jarum kemudian ditarik dan diarahkan ulang kearah kaudal dari proc.Transversus dan ke arah sisi korpus vertebral. Pandangan lateral diperiksa untuk memastikan bahwa jalur jarum ke arah cephal dari foramen vertebra untuk menghindari saraf somatik yang muncul (dari foramen tersebut?). Jarum kemudian ditusukkan lebih jauh hingga ujungnya berada di sisi korpus vertebra di anterior foramen vertebra dan di samping aspek anterior leher costa. Injeksi sebaiknya dibatasi hanya 2-3 mL, dan larutan neurolitik sebaiknya digunakan dengan amat hati-hati untuk kondisi-kondisi non-maligna karena cenderung lebih banyak menimbulkan blok somatik.
Sebuah teknik frekuensi radio perkutaneus simpatektomi segmen atas thoraks telah dikemukakan oleh Yarzebski dan Wilkinson (1987) ini merupakan prosedur yang sulit dan telah dilengkapi dengan teknik bedah endoskopik (Malone dkk 1986), simpatektomi thorakoskopik menjadi kesuksesan besar dalam perawatan hiperhidrosis (Byrne dkk 1990, Gordon & Collin 1994). Blok inter pleura merupakan jalan alternatif untuk menghasilkan blok simpatis umlateral pada lengan, dan Reiestad dkk (1989) menggunakan teknik ini untuk memberikan injeksi harian 3 mL Bupivacaine 0,5% dengan epinefrin melalui kateter terpasang. Akhirnya, infus epidural thoraks dapat digunakan untuk menghasilkan blok simpatis maupun blok somatik.

Komplikasi
Terdapat beberapa resiko komplikasi yang bermakna, termasuk diantaranya pneumothoraks, injeksi subarachnoid, cedera saraf somatic, dan blok saraf somatik.

...
.

.

Related Post



0 comments:

Posting Komentar